“Di Obi tak cuma nikel, tapi menyimpan macam-macam mineral, dari mistis sampai sejarah,” bisik seorang pekerja tambang kepada saya.
Dua hari menginjakkan kaki di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara membawa saya berimajinasi, bagaimana pulau ini terus bersolek menjadi pusat penambangan dan smelter nikel bagian proyek strategis nasional untuk mendukung pengembangan hilirisasi nikel di Indonesia Timur.
Membayangkan Pulau Obi yang luasnya sekitar 3.111 Km persegi, itu saja saja setara dengan kurang lebih 4,5 kali luas wilayah DKI Jakarta atau 4 kali luas Singapura.
Sejauh mata memandang lanskap Pulau Obi masih dominan pemandangan hutan hijau dan birunya laut Maluku, sebagian lagi tampak bukit-bukit tanah merah yang sudah mengalami proses pengupasan penambangan nickle ore (bijih nikel), limonite maupun saprolite yang dilakukan oleh perusahaan pemegang IUP di sana, termasuk PT Trimegah Bangun Persada (TBP) Tbk Harita Group yang bermitra dengan Lygend Resources & Technology dengan membangun beberapa smelter.
Namun, yang cukup bikin kagum, Obi ternyata masih menyimpan ‘harta karun’ selain nikel, yang kondisinya masih terjaga, antara lain sumber daya air baku alami dari mata air sampai danau, flora dan fauna. Juga tak kalah penting, Pulau Obi menyimpan peninggalan heritage situs dari jejak pusat dan jalur perdagangan rempah-rempah dunia pada abad ke-17.
Mata Air ‘Abadi’ Obi
Di Pulau Obi, air jadi kunci penting bagi denyut kehidupan warga di Pulau Obi dan juga nadi kegiatan penambangan dan pemurnian mineral di pulau ini.
Di salah satu lembah kecil tepatnya pada lereng bawah bangunan-bangunan smelter Harita Group, Obi masih menyimpan ‘harta karun’ yaitu sumber mata air abadi yang kondisinya sangat baik. Mata air ini sebagai air baku yang dimanfaatkan oleh warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi yang ada di sisi hilir mata air.