– Belakangan aksi Mahfud versus ‘everybody’ pada rapat Komisi III DPR pekan lalu yang membahas transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadi sorotan.
Dalam rapat ini debat panas memang terjadi. Semua sepakat untuk menyaksikan bagaimana Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) sekaligus Ketua Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD menghadapi Komisi III untuk mengungkap lebih dalam terkait transaksi janggal bernilai fantastis itu.
Rapat tersebut seolah menggambarkan Mahfud MD menghadapi siapa saja yang ada di Komisi III DPR. Bukan tanpa alasan, Mahfud meladeni seluruh cecaran anggota Komisi III yang penasaran soal laporan transaksi mencurigakan itu.
Maka sudah pasti, jalannya rapat berlangsung dengan tensi tinggi. Debat panas antara Mahfud dan anggota Dewan pun tak terhindarkan.
Debat panas memang diprediksi sejak Mahfud menantang 3 anggota Komisi II DPR, Asrul Sani, Arteria Dahlan, dan Benny K Harman. Mahfud menantang ketiganya untuk hadir dalam rapat itu tanpa mencari-cari alasan.
Baru mulai rapat Mahfud mencecar tiga anggota Dewan yang ditantangnya, yakni Benny K Harman, Arsul Sani, dan Arteria Dahlan. Awalnya, Mahfud mencecar Arsul lantaran menilai dirinya tak berwenang mengumumkan praktik TPPU.
Mahfud lantas menyindir Arsul yang pernah membicarakan kewenangannya untuk mengumumkan TPPU. Ucapan Arsul itu merujuk Pasal 4 Perpres Nomor 6 Tahun 2012 tentang Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Singkat cerita, ujung dari debat panas ini saling bersalaman setelah rapat dinyatakan ditutup.
Di sisi lain, sebelum rapat ditutup ada yang menarik untuk kita ulas kembali. Untuk menindaklanjuti transaksi janggal di Kemenkeu senilai Rp 349 triliun itu tak lepas dari persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
Ia bahkan menyampaikan langsung permohonan itu kepada Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul.
“Saya ingin usulkan gini, sulit memberantas korupsi itu, tolong melalui Pak Bambang Pacul, Pak, undang-undang perampasan aset, tolong didukung biar kami bisa mengambil begini-begininya, Pak, tolong juga pembatasan uang kartal didukung,” ujar Mahfud saat rapat di Komisi III, dalam catatan CNBC Indonesia.
Bisa Cegah Korupsi Besar
Maraknya praktik politik uang kini menjadi kekhawatiran tersendiri di lingkungan anggota legislatif terlebih jelang pemilu mendatang.
Dengan adanya transaksi janggal di Kemenkeu maka dijadikan batu loncatan untuk mengusulkan kepada DPR supaya 2 RUU itu disahkan dan diiringi pula dengan bukti-bukti lain susahnya mencari bukti-bukti kongkrit terhadap tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang harus diungkap terlebih dahulu tindak pidana asal nya.
Modus-modus saat ini tengah marak berkembang. Misalnya dengan menukar koper berisi kertas dengan koper berisi uang tunai yang biasa terjadi di kabin-kabin pesawat di luar negeri, misalnya di Singapura.
Ketika diperiksa saat datang ke tanah air, uang itu menjadi legal karena disadurkan dengan alasan hasil judi di Singapura yang memang legal.
Maka dari itu, tindakan kejahatan seperti ini jangan sampai terjadi di Indonesia. itulah sebabnya Mahfud kekeh untuk mengupayakan Undang-undang perampasan aset dan pembatasan belanja uang tunai.
Meskipun ini akan menyulitkan dan tidak selalu sempurna menurut Mahfud ini adalah upaya sungguh-sungguh yang mesti dilakukan.
Merespons permohonan itu, Ketua Komisi III DPR Bambang Wiryanto atau Bambang Pacul mengatakan, permohonan Mahfud itu bisa-bisa saja berjala mulus di DPR asalkan mendapat restu dari para ketua umum partai politik di parlemen. Karenanya, ia meminta Mahfud melobi para Ketum Parpol.
Artinya, memang jalan yang dilewati tidaklah mudah. Harus banyak yang memiliki keinginan untuk ‘mengusahakan’ terlebih dahulu di lingkungan parpol.
Menurut Bambang, ini karena para anggota DPR, termasuk di Komisi III mengambil sikap sesuai perintah dari masing-masing pimpinan partai politiknya. Tanpa adanya persetujuan dari para petinggi partai, legalitas RUU untuk disahkan katanya sulit tercapai.
Ternyata presiden juga pernah menanyakan soal dua RUU ini. Dia pun mengungkapkan secara terang-terangan bahwa dua RUU itu ditolak karena masih menyimpan polemik.
Misalnya, untuk RUU Pembatasan Uang Kartal bisa merepotkan para anggota dewan saat kampanye. Kita lihat saja, pada saat pemilu Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa permintaan uang karta meningkat selama masa kampanye dan Pemilu. Artinya, transaksi seperti ini masih dibutuhkan pada masa-masa ini.
Oleh sebab itu, jika RUU ini disahkan maka yang kesulitan adalah DPR. Sebab harus memikirkan bagaimana bagi-bagi duit menggunakan e-wallet. Di mana batas limit saldo adalah Rp 20 juta ini akan menyulitkan dan mengurungkan niat menjadi anggota DPR.
Lantas apakah betul tak ada cara lain? ataukah hanya melindungi hal yang lain? Inilah yang patut dibahas lebih dalam oleh pemerintah.
Melihat dari sudut pandang anti-korupsi, RUU Pemberantasan Transaksi Tunai penting untuk segera disahkan untuk menjadi payung hukum mencegah praktik politik uang yang berujung pada tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Resistensi elit DPR RI kehadiran RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal justru menunjukkan urgensi penerapannya mengingat praktik kotor yang mengarah pada tindak pidana korupsi dan pencucian uang telah dianggap wajar.
Sebenarnya, Ini Bukan Hal yang Baru di Indonesia
Sebenarnya hal ini bukanlah hal yang baru. Indonesia sudah menerapkan pembatasan transaksi uang kartal alias uang tunai. Mengutip Indonesia Corruption Watch (ICW), RUU perampasan aset tersebut sebenarnya sudah ada sejak 2017.
Kendati demikian, aturan ini belum pernah dibahas meskipun telah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (prolegnas) 5 tahunan, padahal praktik suap-menyuap seringkali terjadi dalam bentuk serah-terima uang tunai.
Prinsip know your customer yang berlaku bagi penyelenggara jasa keuangan adalah salah satu wujud penerapan Pasal 18 ayat (3) huruf b UU 8/2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010).
Pasal tersebut menyebutkan bahwa penyelenggara jasa keuangan perlu mendalami transaksi dari pelanggan dengan nilai≥Rp100.000.000, atau mata uang yang setara dengan nilai tersebut.
Selain itu, ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2016 tentang Pembawaan Uang Tunai dan/atau Instrumen Pembayaran Lain Ke dalam atau Ke luar Daerah Pabean Indonesia (PP 99/2016) juga mengatur hal serupa.
Pasal 2 ayat (1) PP 99/2016 menyebutkan bahwa, setiap orang yang membawa uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain paling sedikit Rp 100.000.000 atau yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar daerah pabean, wajib memberitahukan kepada pejabat bea dan cukai.
Sebagai perbandingan, Malaysia juga sudah membatasi transaksi uang tunai dengan batas maksimal RM 50.000, Filipina menerapkan batasan transaksi tunai dengan nilai maksimal Php 4.000.000. Sedangkan India menerapkan batasan sebesar 200.000
Rupee India untuk transaksi tunai. Penerapan pembatasan transaksi tunai adalah wujud dari komitmen negara-negara tersebut dalam memberantas korupsi, pencucian uang, dan pendanaan terorisme.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) meskipun praktik pembatasan transaksi uang kartal sudah berjalan di Indonesia, RUU Pembatasan Transaksi Tunai dapat memperkuat regulasi yang sudah ada dengan membatasi transaksi uang kartal secara lebih menyeluruh.
Hal ini dimaksudkan agar modus kejahatan finansial yang umumnya dilakukan dengan transaksi tunai untuk mengaburkan dan menghilangkan jejak, dapat diminimalisasi.
Apalagi, praktik praktik suap-menyuap seringkali terjadi dalam bentuk serah-terima uang tunai. KPK sendiri mencatat, setidaknya ada 791 perkara suap-menyuap yang ditanganinya, sejak 2004 hingga 2021.
Pola transaksi secara tunai juga kerap terjadi dalam tindak pidana pencucian uang. Keduanya sama-sama bertujuan mengaburkan dan menghapus jejak transaksi dan aliran dana kotor tersebut.
Tapi memang tantangannya ada pada regulasi yang lebih kuat agar menjadi dasar hukum bagi otoritas terkait untuk mengambil tindakan atas transaksi tunai yang melampaui batas atas, dan memperlakukannya sebagai temuan awal untuk ditindaklanjuti.